Ia, Bukan apa-apa, Bukan siapa-siapa, Namun Istimewa
Pukul 00:27
Aku
berjalan gontai keluar kamarku, Diam diam kubuka pintu ruang keluarga yang
menghubungkan dengan ruang tamu, Kubuka lagi pintu depan secara diam diam. Umi
dan Abah sudah tidur, Aku tak ingin mereka tau aku keluar rumah dini hari
seperti ini.
Kuhirup
udara kota Temanggung malam ini. Semilir angin dengan tenang lewat begitu saja
disekitarku. Kakiku tegang, Mungkin karena aku selama ini selalu diam dirumah,
Tak pergi kemana mana. Kata orang orang diluar sana mungkin ‘kurang liburan’. Aku
masih mencari cari orang yang ingin kutemui tadi. Ya, Niat keluar rumah memang
untuk itu. Aku menuju arah timur, Berjalan lurus. Agak waswas ketika melihat
dua orang pemuda sedang ditengah mabuk. Kupercepatkan langkahku. Kata
Sastrawanku itu aku harus jalan lurus saja sampai aku menemukan warung bakso.
Ia ada disana.
Aku
berjalan lurus. Kubuka hpku untuk mengabarkan ada dimana dia. Aku melihat ke
arah warung bakso, terlihat ada seseorang berjaket hitam melambaikan tangan
kepadaku. Itu Sastrawanku. Aku berteriak girang sekali.
“Cepet
banget kang?”
“Iya
Yu... Mau pesen bakso nggak nih..”
“Nggak
usah kang.. Saya masih kenyang “
Kami
kemudian saling bertukar kisah menarik. Dari hal mengenai PII dan masa kecil
dia, Yang kemudian masa remajanya dewasa di Palembang. Jujur, Dari sini aku
kagum oleh sosok itu. Aku baru saja percaya jika sastrawan selalu tampil apa
adanya. Seperti sastrawanku itu. Biasa aja, Dengan rambut yang masih sedikit
gondrong dan ia selalu saja menggunakan penutup kepalanya itu. Omku,yang juga
sastrawan terkenal juga dulu penampilannya sangat sederhana, Sederhana sekali,
Bahkan kucel, Yah... seperti itu.
Sastrawanku
itu masih asyik cerita sambil melahab baksonya. Aku sendiri mendengarkan dengan
setia. Sesekali tertawa jika ada cerita yang unik maupun yang lucu. Setelah
sekitar satu jam, Usai Sastrawanku makan bakso. Aku pun meminta foto bareng.
Untuk mengabadikan saja. Ya, sejenis kenangan. Ini hanyalah sebuah kisah
sederhana. Tidak ada yag menarik memang. Tapi aku tetap menuliskannya. Bukan
untuk dibaca banyak publik namun, Aku hanya ingin cerita ini mengingatkan aku
pada peristiwa malam hari ini. Tak ada yang bisa kuceritakan mengenai hal
menarik dari cerita Sastrawan itu. Bukan karena malas, Tapi, Biarlah hanya aku
dan Sastrawanku yang tau kisah menarik diantara kami berdua. Dan dimana pun itu
sisi konyolnya tetap akan menjadi rahasia. Rasa kagum ini tiba tiba semakin
bertambah ketika beliau bercerita mengenai masa lalunya.
Waktu
menunjukkan pukul 01:25 dini hari. Aku mengambil jalan pulang yang berbeda dari
jalan tadinya aku datang. Bukan apa-apa. Rumahku ada di gang sebelah Masjid
Besar kota ini. Sementara di depan masjid sejumlah orang sedang mabuk berat.
Aku tak bisa melewati jalur itu dengan paksa. Jika iya, Entah apa yang akan ia
lakukan. Sejenis hal bejat yang pernah aku baca-baca di buku-buku pasaran.
Melewati jalan yang lebih jauh namun aman itu lebih baik dari pada aku harus
melewai jalan pendek menuju rumahku tapi membahayakan. Hari ini biarlah aku
saja yang mengambil hikmah dan pelajaran dari cerita Sastrawanku, Bukan kalian.
Karena hanya akulah yang mendengar ceritanya pada malam itu. Ia mungkin bukan
apa-apa. Bukan siapa-siapa. Bahkan hanya Sastrawan yang tak dikenal. Mungkin
hanya aku saja yang menganggapnya. Tapi Ia memiliki suatu hal yang berbeda dari
orang lain. Dan malam hari itu aku masih mengulang kembali satu kata istimewa
dari Instruktur Emir, lPA_RA_DIG_MA
Komentar
Posting Komentar