55.845 Detik Bersamamu
Part 2
Aku dan Bingungku.
Bismillahirrahmanirrahim....
Jujur, ini kali pertamanya aku mendaki gunung. Dan aku tidak akan pernah tau apa itu mendaki kecuali jika kali ini aku berhasil.
Udara malam mengusikku untuk tetap bertahan dalam dinginnya kabut. Suara jangkrik semakin lama semakin berisik, sesekali juga lambat laun mulai pelan. Semak semak yang saling bercengkerama membuatku tersenyum. Kacamataku berembun, Ah aku senang, Hari ini aku berjalan sejajar dengan orang yang ku sayang dibarisan paling belakang. Teman temanku ada tiga, dan teman teman dia ada empat, semuanya didepan berjalan mendahuluiku.
Nyatanya semakin lama langkah kaki ini menginjakkan disetiap pijakannya yang mulai keatas, Beban berat ditasku memaksa aku untuk lemah. Aku tau, Pasti air minum yang membuatku keberatan.
"Fa... Air minum aku buang ya.. Lagian diatas masih ada air, besok aku ganti deh." ujarku setengah berteriak kepada sahabatku, Elfa.
"Ngarang aja. Eh jangan,nanti kita mau minum apa" jawab Elfa dengan nafas terengah engah. Aku senang. Elfa sama tak kuatnya dengan aku. Hehe.
"Eh jangan, masak dibuang. Biar Bastian aja yang bawain." lanjut dia.
Carrierku kuturunkan. Aku memegang pundakku seraya meringis nyeri.
"Bas!! Masih cukup kan. Ini S-A nggak kuat. Tolong ya" Kata dia kepada salah satu temannya, sekaligus kakak kelasku di SMA.
Tuh kan belum sampai pos 1 saja, Aku sudah tidak kuat. Apalagi jika sudah sampai.
Sungguh, aku sangat naif pada diriku sendiri. Bukan main, lama semakin lama kakiku seakan akan membeku. Tidak sakit. Tapi.... Mungkin karena aku belum terbiasa. Aku tetap diam. Sebelum mulai mendaki, aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Apapun yang terjadi, Kata 'capek' maupun 'lelah' tak akan sampai terdengar di telinga dia. Iya, Masih tentang dia yang setia menemaniku.
Terkadang dalam perjalanan, setengah dari rombongan kami bersenda gurau. Kadang pula ketika ada yang melontarkan tanya "capek sa?" aku langsung bergegas mendahuluinya. Benar memang. Ketika pikiranku berkata lelah, Tetapi hati berkata lain 'Masak iya cuma segini aja lelah' itu yang membuatku tak pernah sekalipun meminta untuk turun kembali ke basecamp, Meskipun pikiranku berkata aku takkan pernah sampai puncak.
Dia mengambil bambu disamping jalan. Kemudian diberikannya kepadaku. "ini biar kuat" Katanya sambil tersenyum. Aku meraih sepotong bambu itu. Iya, memang sedikit memberikan kekuatan bagi kakiku. Setidaknya aku bisa menopang dengan sepotong bambu itu. Bahkan sekali kali aku meraih belakang tas, untuk kugunakan sebagai pegangan. Niatnya agar dia menyeretku.
Kadang pula, ketika istirahat. Dia tak pernah lupa menanyaiku. Apakah aku lelah atau tidak. Namun, dengan segala kengototanku. Aku tetap bilang tidak. Kadang pula, Dia memanjakanku dengan cerita cerita yang tak pernah membuatku bosan.
Jalan semakin menanjak, Rasanya sudah tidak ada lagi jalan rata. Dadaku sakit. Detak jantungku semakin cepat. Aku menengok jam pintarku. Bergetar tiga kali. Benar, Detak jantungku semakin lama semakin tak beraturan. Sakit dari dadaku mengalir ke perut bagian kanan kemudian ke kiri. Kram. Nyeri. Ah campur aduk. Aku ingin berhenti, istirahat sejenak sembari mengoleskan minyak telon atau menempelkan salonplas ke perutku. Tapi, aku tau. Mereka belum lelah. Aku diam saja. Sampai ketika akhirnya bertemu pada rombongan kami barisan depan. Mereka kuat, Pasti senang rasanya menunggu kami dengan tidur. Aku ingin, Jika aku kuat. Hehe.
"Capek? " tanya dia.
"Enggak kok, nggak papa. Kamu itu yang capek." jawabku enggan.
"Udah istirahat dulu. Sini duduk sini." dia mempersilahkanku duduk didepannya. Aku duduk menghempaskan segala rasa lelah.
"kakinya eh..!" Tegurnya.
Kuluruskan kakiku ke depan. Saat ini aku tetap berhadapan dengan jalan yang baru kulalui. Aku sama sekali tidak ada fikiran untuk pulang. Sama sekali tidak. Tapi, mengingat perutku super hebat sakitnya. Aku ingin... Ah enggak. Aku senang. Bisa berjalan beriringan bersama dia.
Kutatap Elfa dengan nanar. Jujur, ingin rasanya kubisikan bahwa perutku memang tidak karuan rasanya. Aku meringis. Elfa sama sekali tak menyadari bahwa aku kali itu benar benar ingin direspon olehnya. Karena rasa sakitku terkalahkan oleh rasa gengsiku, Aku hanya memegangi perutku. Berdoa semoga tuhan memberikan keajaiban malam itu. Ayolah...
"Kenapa? Kamu pusing? Apanya yang sakit" Tanya dia seraya menatapku. Aku tidak tau bagaimana cara dia menatapku. Tapi malam itu aku harap dia tidak khawatir melihatku menahan sakit.
"enggak.. Em.. Perutku sedikit kram." jawabku perlahan. Lama kelamaan airmata yang kubendung jatuh tak bisa kutahan lagi. Aku menangis. Aku benci situasi itu. Situasi dimana aku bersamanya seharusnya memberi kesenangan bukan malah menahan sakit seperti itu. Kembali fikiranku berkecamuk. Kenapa tadi aku tidak makan terlebih dahulu. Kenapa harus sekarang.
"Udah istirahat dulu, kalo sakit jangan dipaksa. Dia mengelus kepalaku sebentar. Canggung mungkin.
Lama setelah menahan perih. Akhirnya aku bisa menempelkan salonplas ke perutku seraya memberi minyak telon agar sedikit hangat. Selang beberapa menit, Perutku kembali normal. Tetaplah nyaman seperti itu. Aku tidak ingin menjadi repot yang lainnya. Harapku.
Setelah lama berjalan, Kurang lebih tiga setengah jam, dibantu aku yang sebentar sebentar berhenti menuruti rasa lelahku, Kami akhirnya sampai di Pos tiga. Alhamdulillah. Aku menghela nafas lega.
Tidak terfikir olehku. Tadi itu benar benar menyeramkan. Mungkin karena itu kali pertama bagiku. Aku masih ingat bagaimana dia mengelus kepalaku, Jilbabku basah.
"skebonya dibawa aja ya. Kamu udah keringetan gini. Nanti kepanasan" katanya sambil melepas skeboku.
"Kalo dingin kaus tangannya dipakai."
Ah segala kekhawatiran kamu, Mas,, membuat aku lega bahwa kamu baik baik saja ternyata. Sayang, aku yang menemanimu harus payah seperti ini. Batinku.
Sesekali aku juga bertanya. "kamu gimana? Capekkan? Berat nggak?"
***
Selepas mendirikan tenda. Kami masuk kedalam tenda. Aku mengeluarkan makanan dan membawanya ke tenda depan. Kemudian mengeluarkan sleeping bag sebenarnya bersiap mau tidur. Tenagaku sudah terkuras, tapi berhubung kelaparan, Akhirnya mau nggak mau harus makan supaya bisa tidur nyenyak.
Masih ingat bagaimana dia membuatkan pop mie untukku. Airnya kurang, Jadi asin deh. Tapi aku suka. Hmm... Kebelet nikah kamu ya. Aku tertawa dalam diam.
Malam telah larut. Dalam kegelapan aku berharap semoga besok kami masih bisa melanjutkan perjalanan kami menuju puncak. Semoga aku masih kuat. Semoga kamu baik baik saja dalam melindungiku.
Part 2
Aku dan Bingungku.
Bismillahirrahmanirrahim....
Jujur, ini kali pertamanya aku mendaki gunung. Dan aku tidak akan pernah tau apa itu mendaki kecuali jika kali ini aku berhasil.
Udara malam mengusikku untuk tetap bertahan dalam dinginnya kabut. Suara jangkrik semakin lama semakin berisik, sesekali juga lambat laun mulai pelan. Semak semak yang saling bercengkerama membuatku tersenyum. Kacamataku berembun, Ah aku senang, Hari ini aku berjalan sejajar dengan orang yang ku sayang dibarisan paling belakang. Teman temanku ada tiga, dan teman teman dia ada empat, semuanya didepan berjalan mendahuluiku.
Nyatanya semakin lama langkah kaki ini menginjakkan disetiap pijakannya yang mulai keatas, Beban berat ditasku memaksa aku untuk lemah. Aku tau, Pasti air minum yang membuatku keberatan.
"Fa... Air minum aku buang ya.. Lagian diatas masih ada air, besok aku ganti deh." ujarku setengah berteriak kepada sahabatku, Elfa.
"Ngarang aja. Eh jangan,nanti kita mau minum apa" jawab Elfa dengan nafas terengah engah. Aku senang. Elfa sama tak kuatnya dengan aku. Hehe.
"Eh jangan, masak dibuang. Biar Bastian aja yang bawain." lanjut dia.
Carrierku kuturunkan. Aku memegang pundakku seraya meringis nyeri.
"Bas!! Masih cukup kan. Ini S-A nggak kuat. Tolong ya" Kata dia kepada salah satu temannya, sekaligus kakak kelasku di SMA.
Tuh kan belum sampai pos 1 saja, Aku sudah tidak kuat. Apalagi jika sudah sampai.
Sungguh, aku sangat naif pada diriku sendiri. Bukan main, lama semakin lama kakiku seakan akan membeku. Tidak sakit. Tapi.... Mungkin karena aku belum terbiasa. Aku tetap diam. Sebelum mulai mendaki, aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Apapun yang terjadi, Kata 'capek' maupun 'lelah' tak akan sampai terdengar di telinga dia. Iya, Masih tentang dia yang setia menemaniku.
Terkadang dalam perjalanan, setengah dari rombongan kami bersenda gurau. Kadang pula ketika ada yang melontarkan tanya "capek sa?" aku langsung bergegas mendahuluinya. Benar memang. Ketika pikiranku berkata lelah, Tetapi hati berkata lain 'Masak iya cuma segini aja lelah' itu yang membuatku tak pernah sekalipun meminta untuk turun kembali ke basecamp, Meskipun pikiranku berkata aku takkan pernah sampai puncak.
Dia mengambil bambu disamping jalan. Kemudian diberikannya kepadaku. "ini biar kuat" Katanya sambil tersenyum. Aku meraih sepotong bambu itu. Iya, memang sedikit memberikan kekuatan bagi kakiku. Setidaknya aku bisa menopang dengan sepotong bambu itu. Bahkan sekali kali aku meraih belakang tas, untuk kugunakan sebagai pegangan. Niatnya agar dia menyeretku.
Kadang pula, ketika istirahat. Dia tak pernah lupa menanyaiku. Apakah aku lelah atau tidak. Namun, dengan segala kengototanku. Aku tetap bilang tidak. Kadang pula, Dia memanjakanku dengan cerita cerita yang tak pernah membuatku bosan.
Jalan semakin menanjak, Rasanya sudah tidak ada lagi jalan rata. Dadaku sakit. Detak jantungku semakin cepat. Aku menengok jam pintarku. Bergetar tiga kali. Benar, Detak jantungku semakin lama semakin tak beraturan. Sakit dari dadaku mengalir ke perut bagian kanan kemudian ke kiri. Kram. Nyeri. Ah campur aduk. Aku ingin berhenti, istirahat sejenak sembari mengoleskan minyak telon atau menempelkan salonplas ke perutku. Tapi, aku tau. Mereka belum lelah. Aku diam saja. Sampai ketika akhirnya bertemu pada rombongan kami barisan depan. Mereka kuat, Pasti senang rasanya menunggu kami dengan tidur. Aku ingin, Jika aku kuat. Hehe.
"Capek? " tanya dia.
"Enggak kok, nggak papa. Kamu itu yang capek." jawabku enggan.
"Udah istirahat dulu. Sini duduk sini." dia mempersilahkanku duduk didepannya. Aku duduk menghempaskan segala rasa lelah.
"kakinya eh..!" Tegurnya.
Kuluruskan kakiku ke depan. Saat ini aku tetap berhadapan dengan jalan yang baru kulalui. Aku sama sekali tidak ada fikiran untuk pulang. Sama sekali tidak. Tapi, mengingat perutku super hebat sakitnya. Aku ingin... Ah enggak. Aku senang. Bisa berjalan beriringan bersama dia.
Kutatap Elfa dengan nanar. Jujur, ingin rasanya kubisikan bahwa perutku memang tidak karuan rasanya. Aku meringis. Elfa sama sekali tak menyadari bahwa aku kali itu benar benar ingin direspon olehnya. Karena rasa sakitku terkalahkan oleh rasa gengsiku, Aku hanya memegangi perutku. Berdoa semoga tuhan memberikan keajaiban malam itu. Ayolah...
"Kenapa? Kamu pusing? Apanya yang sakit" Tanya dia seraya menatapku. Aku tidak tau bagaimana cara dia menatapku. Tapi malam itu aku harap dia tidak khawatir melihatku menahan sakit.
"enggak.. Em.. Perutku sedikit kram." jawabku perlahan. Lama kelamaan airmata yang kubendung jatuh tak bisa kutahan lagi. Aku menangis. Aku benci situasi itu. Situasi dimana aku bersamanya seharusnya memberi kesenangan bukan malah menahan sakit seperti itu. Kembali fikiranku berkecamuk. Kenapa tadi aku tidak makan terlebih dahulu. Kenapa harus sekarang.
"Udah istirahat dulu, kalo sakit jangan dipaksa. Dia mengelus kepalaku sebentar. Canggung mungkin.
Lama setelah menahan perih. Akhirnya aku bisa menempelkan salonplas ke perutku seraya memberi minyak telon agar sedikit hangat. Selang beberapa menit, Perutku kembali normal. Tetaplah nyaman seperti itu. Aku tidak ingin menjadi repot yang lainnya. Harapku.
Setelah lama berjalan, Kurang lebih tiga setengah jam, dibantu aku yang sebentar sebentar berhenti menuruti rasa lelahku, Kami akhirnya sampai di Pos tiga. Alhamdulillah. Aku menghela nafas lega.
Tidak terfikir olehku. Tadi itu benar benar menyeramkan. Mungkin karena itu kali pertama bagiku. Aku masih ingat bagaimana dia mengelus kepalaku, Jilbabku basah.
"skebonya dibawa aja ya. Kamu udah keringetan gini. Nanti kepanasan" katanya sambil melepas skeboku.
"Kalo dingin kaus tangannya dipakai."
Ah segala kekhawatiran kamu, Mas,, membuat aku lega bahwa kamu baik baik saja ternyata. Sayang, aku yang menemanimu harus payah seperti ini. Batinku.
Sesekali aku juga bertanya. "kamu gimana? Capekkan? Berat nggak?"
***
Selepas mendirikan tenda. Kami masuk kedalam tenda. Aku mengeluarkan makanan dan membawanya ke tenda depan. Kemudian mengeluarkan sleeping bag sebenarnya bersiap mau tidur. Tenagaku sudah terkuras, tapi berhubung kelaparan, Akhirnya mau nggak mau harus makan supaya bisa tidur nyenyak.
Masih ingat bagaimana dia membuatkan pop mie untukku. Airnya kurang, Jadi asin deh. Tapi aku suka. Hmm... Kebelet nikah kamu ya. Aku tertawa dalam diam.
Malam telah larut. Dalam kegelapan aku berharap semoga besok kami masih bisa melanjutkan perjalanan kami menuju puncak. Semoga aku masih kuat. Semoga kamu baik baik saja dalam melindungiku.
Komentar
Posting Komentar