55.845 Detik Bersamamu
Part 3
Aku terbangun kaget oleh alarm hpku. Kubuka mataku perlahan. Pukul setengah dua. Udara malam memang dingin. Lebih dari dingin. Kunaikkan Sleeping Bag-ku yang hampir merosot. Ku hempaskan kain songketku ke kepalaku... Tambah dingin. Karena songketku sudah keduluan terkena udara dingin. Aku kembali tidur.
Aku tau,tengah malam itu alarm jam serta alarm hpku sudah berbunyi lebih dari tiga kali. Aku terbangun pada alarm terakhir. Pukul dua malam lewat enam belas menit. Kubangunkan Elfa malam itu juga, Kata para rombongan kaum adam, Pukul dua kami harus melanjutkan pendakian hingga sampai ke puncak bisa melihat sun-rise.
Aku membangunkan Elfa lebih dari tiga kali. Jawabannya sama sekali tidak memuaskan. "apa sih.. Ngantuk tauk, tidur ah.. Malem ni.. Duh,, besok aja pipisnya, dingin nih" Kurang lebih seperti itu. Setengah jengkel, Akhirnya aku keluar dari tenda, kuhidupkan senter kecilku. Aku menyorotkan senterku keatas pohon. Penasaran, Bagaimana jika siang? Seperti apa pemandangan area camp di pos tiga ini.
Suara ramai dan berisik dihasilkan oleh para rombongan yang menyusul dibelakang kami dan para rombongan pendakian yang baru saja sampai. Atau barang kali sampai satu-setengah jam yang lalu. Aku mendekati tenda rombongan pria, Ketika aku hendak menyentuh resleting tenda dan membukanya. Pikiranku sudah kemana mana. Bagaimana jika? (aduh enggak, ngawur... Mana mungkin malam malam begini mereka.... Hushhh) kuurungkan niatku membuka tenda itu. Selain takut mereka marah. Aku tau, aku pasti kelewat batas tidak sopan. Apalagi jika mereka sungkan setelah bangun dari tidur lelah mereka.
Aku masih di depan tenda. Menahan hasratku untuk buang air kecil. Kutelfon hp dia berkali kali. Serta mengirimkan pesan singkat yang hanya berujar 'mas... ' sebanyak tiga kali. Dan 'mas, aku kebelet pipis, anterin pipis' sebanyak satu kali. Memang tidak ada hasilnya sama sekali. Mengapa? Aku tau, Hp dia off.
Kembali aku memasuki tenda, Semoga aku benar benar tidak kebelet. Mengingat tadi malam aku dalam perjalanan sering minum dan menghabiskan air putih satu setengah botol 'my bottle'-ku. Melihat Elfa yang tertidur pulas, Tentu saja aku geram. Sambil menatap iba, dia lelah, Mereka lelah. Benar juga, Tak seharusnya aku mengganggunya.
Ketika sudah bangun dari tidur, sementara semalam berharap agar pukul dua aku dapat bangun lebih awal serta merta aku juga berharap agar lepas bangun aku tidak kembali tidur. Ternyata Sang Pemilik Alam ini benar mengabulkan doaku. Sehingga saat aku berniat tidur kembali, Aku sama sekali tidak bisa memaksa mata serta tubuhku untuk beristirahat setengah total. Ya begitulah akhirnya aku tetap tiduran dengan mata yang masih susah tertutup.
Tak lama, suara berisik muncul dari tenda laki laki. Alhamdulillah, aku lega, akhirnya setelah ini aku tak usah repot repot menunggu mereka ditemani dengan rasa dingin yang mulai menusuk tulangku.
Kubangunkan Elfa, bergegas kuraih tas ransel milik salah satu temanku, kumasukkan beberapa makanan ringan dan cemilan.
"Woy bangun woy, udah setengah empat nih" Teriak salah satu rekan dari tenda laki laki.
"Udah dari tadi..! "ujarku balik.
Elfa masih tidak mau bangun, Aku kembali membangunkan dengan setengah kesal. "buruan fa, setengah empat ini, kamu nggak akan liat sun rise kalo tidur mulu.. " kataku seraya mencubit kakinya.
Setelah semua bersiap melanjutkan pendakian menuju puncak, aku meminta Elfa untuk mengantarkan aku buang air kecil terlebih dahulu, Nyatanya Elfa sama sama ingin buang air kecil terlebih dahulu. Tau kan betapa ribetnya? Harus pergi ke belakang semak semak, Kemudian sembari membawa botol aqua. Ah... Tidak, aku tidak perlu kesal. Memang begini. Aku harus terbiasa, Suatu saat ini akan menjadi hobi baruku. Hem...
Dilanjutkan kembali perjalanan kami menyusuri jalanan licin dan beberapa kali aku terpeleset jatuh. Tangan sosok itu tentu saja menawarkan untuk menjagaku agar tidak terpeleset yang kesekian kalinya. Aku meraih tangannya. Hangat. Sehangat rinduku yang tak pernah habis.
Aku ini benar benar wanita paling payah. Terbukti setelah beberapa waktu lalu aku tertidur, mengistirahatkan kakiku yang lemah ini, sama sekali tidak membuatku semakin kuat. Semakin lemah rasanya, dibalut dengan dingin yang sama sekali tak bersahabat. Lama semakin lama, menyusuri jalan setapak kemudian tangga cinta dilanjut lagi jalan setapak, Yang baru aku tau siang itu ternyata aku berjalan bersisian dengan jurang yang menganga disamping kananku. Tapi sungguh, Pagi yang buta itu, aku bisa melihat pemandangan dibawah sana tak ada bandingannya dengan pemandangan mana pun. Suer, Indahnya... Benar benar 'Nikmat Tuhan mana lagi yang patut aku dustakan'
"Wah... Itu bagus banget.. Bener bagus.." Kataku sambil melihat ke bawah. Lampu lampu kota dibawah itu. Berkedip kedip, serta kulihat gunung gunung yang berjajar diatasnya. Meskipun masih aku lihat dengan gelap,bentuk segitiga tak rata itu pasti gunung.
"Nanti diatas lebih bagus lagi." Ujarnya tersenyum. Mengagetkan lamunanku.
"Yok, biar bisa liat sun rise" lanjutnya. Berkata seperti itu seakan akan aku terlarut untuk terus berjalan meskipun kaki ini minta berhenti.
Dia sama sekali tak lepas dari tatapan memandangiku. Barangkali aku tertinggal atau terjatuh, karena memang aku dan dia selalu ada dibarisan paling belakang sendiri. Kamu, Ah iya... Tak pernah sekalipun kamu berhenti khawatir kepadaku. Aku iri, dengan kamu yang selalu mengkhawatirkan aku. Sementara aku disibukkan dengan pikiran, Bagaimana jika nanti aku pulang mati di jalan. Heleh.... Yang penting ada kamu, Aku cukup bahagia kok.
Lagi lagi dia memegangi jilbabku bagian atas, Mengelus kepalaku yang basah oleh keringat itu. Basah lagi.
"Nggak papa... Aku emang gini, Dikit dikit berkeringat. " ujarku santai.
"Pakai skeboku, Yang anget. skebomu udah basah." katanya sambil melepas skebo rajutku. Kemudian dia memasangkan skebo penutup kepala agar dipakai olehku. Aku tersenyum.
Kami kemudian berjalan bersisian. Melewati setapak demi setapak. Selangkah demi selangkah. Kugandeng lengannya. Jangan tinggalkan aku ya. Aku takut. Begitu kata hatiku.
Setelah sampai puncak,aku tetap tidak melepaskan tanganku dari genggamannya. Sebenarnya belum sampai ujung puncak, mungkin baru setengahnya. Tapi kami tidak ambil pusing agar sampai puncak dengan sempurna. Yang penting sudah bisa lihat sunrise. Oh ya, mungkin kami agak telat, sehingga melihat sun rise saja aku dan rombongan masih sambil jalan menuju ke atas.
Sungguh, Pagi setengah buta itu aku sama sekali tidak mengabadikan dengan kamera mana pun, Momen matahari terbit dengan siluet jingga yang sangat indah dipadu awan yang masih ada dipucuk sumbing dan sindoro. Biar memori otakku saja yang mengabadikan, dengan begitu, sosok apa pun tidak akan ada yang bisa mencuri momen itu dimemori otakku.
Fajar itu, Mentari benar benar satu hati denganku. Seakan akan menyambutku dengan tersenyum melihat sepasang anak manusia berjalan bersisian melewati semak semak gunung. Burung burung bercicit riang bak mendukung agar aku terus menyorotkan mata sinarku.Gunung Prau menjadi saksi bagaimana mataku memancarkan cahaya sucinya dengan lantunan kalam 'Alhamdulillah' Aku sampai. Genggaman tangan hangat itu menemaniku untuk sampai dipuncak ini. Aku tersenyum. Senang. Aku ingin tetap kamu yang selalu menggandengku seperti ini. Aku dalam hati.
Setelah menunaikan solat subuh, Kami menikmati hangatnya susu jahe buatan salah satu teman kami serta pop mie. Memang tidak membuat kenyang, Setidaknya perut telah terisi sedikit. Pagi itu aku tidak makan sama sekali. Memandangi pemandangan yang indahnya tak ada bandingannya saja aku sudah kenyang. Ditambah ku nikmati masa masa limited edition itu bersama dengannya.
Aku masih ingat fajar itu. Sama sekali tidak ada yang kulupa barang sedetik pun. Tak ada yang aku lewatkan sama sekali. Senyuman manis itu. Kata kata yang selalu menenangkan itu. Ah... Saat itu, Aku pikir semesta tau, akulah satu satunya wanita yang sangat bahagia. Sehingga seluruh alam berbaik hati memberikan suasana yang sangat indah. Memberikan hasil dari usahaku. Membayar seluruh lelahku. Aku juga masih ingat, bagaimana aku mengabadikan sosok aku dan dia dalam sebuah kamera hp yang diambil oleh satu temanku. Kepalaku kusandarkan pada pundaknya. Kugandeng lengannya. Aku nyaman. Aku ingin ini selamanya. Aku ingin, hanya aku yang menggenggamu. Tepat foto itu diambil dengan posisi aku dan dia membelakangi gunung. Sempurna. Kelak, ketika aku pulang, akan aku pajang foto ini pada dinding kamarku. Atau barangkali beberapa tahun kemudian aku lupa bahwa aku pernah merasakan momen nyaman itu bersama dengannya.
Terimakasih telah menguatkan aku. Terimakasih telah membawaku sampai sini. Terimakasih atas khawatirmu. Terimakasih telah melindungiku. Terimakasih untuk hari kemarin dan hari ini. Terimakasih atas kado terindah. Terimakasih atas genggaman tanganmu. Suara angin berhembus pelan. Mataku tak lepas dari posisi dia berdiri. Sosok yang kurindu itu, Saat ini tepat berdiri disana. Di depan mataku. Rindu ini sudah cukup terbayar, Meskipun nantinya aku akan tetap kembali merindu.
Di kediaman fajar,
Mt. Prau 2565 mdpl. 5 Mei 2019
Part 3
Aku dan Genggaman Tanganmu.
Aku terbangun kaget oleh alarm hpku. Kubuka mataku perlahan. Pukul setengah dua. Udara malam memang dingin. Lebih dari dingin. Kunaikkan Sleeping Bag-ku yang hampir merosot. Ku hempaskan kain songketku ke kepalaku... Tambah dingin. Karena songketku sudah keduluan terkena udara dingin. Aku kembali tidur.
Aku tau,tengah malam itu alarm jam serta alarm hpku sudah berbunyi lebih dari tiga kali. Aku terbangun pada alarm terakhir. Pukul dua malam lewat enam belas menit. Kubangunkan Elfa malam itu juga, Kata para rombongan kaum adam, Pukul dua kami harus melanjutkan pendakian hingga sampai ke puncak bisa melihat sun-rise.
Aku membangunkan Elfa lebih dari tiga kali. Jawabannya sama sekali tidak memuaskan. "apa sih.. Ngantuk tauk, tidur ah.. Malem ni.. Duh,, besok aja pipisnya, dingin nih" Kurang lebih seperti itu. Setengah jengkel, Akhirnya aku keluar dari tenda, kuhidupkan senter kecilku. Aku menyorotkan senterku keatas pohon. Penasaran, Bagaimana jika siang? Seperti apa pemandangan area camp di pos tiga ini.
Suara ramai dan berisik dihasilkan oleh para rombongan yang menyusul dibelakang kami dan para rombongan pendakian yang baru saja sampai. Atau barang kali sampai satu-setengah jam yang lalu. Aku mendekati tenda rombongan pria, Ketika aku hendak menyentuh resleting tenda dan membukanya. Pikiranku sudah kemana mana. Bagaimana jika? (aduh enggak, ngawur... Mana mungkin malam malam begini mereka.... Hushhh) kuurungkan niatku membuka tenda itu. Selain takut mereka marah. Aku tau, aku pasti kelewat batas tidak sopan. Apalagi jika mereka sungkan setelah bangun dari tidur lelah mereka.
Aku masih di depan tenda. Menahan hasratku untuk buang air kecil. Kutelfon hp dia berkali kali. Serta mengirimkan pesan singkat yang hanya berujar 'mas... ' sebanyak tiga kali. Dan 'mas, aku kebelet pipis, anterin pipis' sebanyak satu kali. Memang tidak ada hasilnya sama sekali. Mengapa? Aku tau, Hp dia off.
Kembali aku memasuki tenda, Semoga aku benar benar tidak kebelet. Mengingat tadi malam aku dalam perjalanan sering minum dan menghabiskan air putih satu setengah botol 'my bottle'-ku. Melihat Elfa yang tertidur pulas, Tentu saja aku geram. Sambil menatap iba, dia lelah, Mereka lelah. Benar juga, Tak seharusnya aku mengganggunya.
Ketika sudah bangun dari tidur, sementara semalam berharap agar pukul dua aku dapat bangun lebih awal serta merta aku juga berharap agar lepas bangun aku tidak kembali tidur. Ternyata Sang Pemilik Alam ini benar mengabulkan doaku. Sehingga saat aku berniat tidur kembali, Aku sama sekali tidak bisa memaksa mata serta tubuhku untuk beristirahat setengah total. Ya begitulah akhirnya aku tetap tiduran dengan mata yang masih susah tertutup.
Tak lama, suara berisik muncul dari tenda laki laki. Alhamdulillah, aku lega, akhirnya setelah ini aku tak usah repot repot menunggu mereka ditemani dengan rasa dingin yang mulai menusuk tulangku.
Kubangunkan Elfa, bergegas kuraih tas ransel milik salah satu temanku, kumasukkan beberapa makanan ringan dan cemilan.
"Woy bangun woy, udah setengah empat nih" Teriak salah satu rekan dari tenda laki laki.
"Udah dari tadi..! "ujarku balik.
Elfa masih tidak mau bangun, Aku kembali membangunkan dengan setengah kesal. "buruan fa, setengah empat ini, kamu nggak akan liat sun rise kalo tidur mulu.. " kataku seraya mencubit kakinya.
Setelah semua bersiap melanjutkan pendakian menuju puncak, aku meminta Elfa untuk mengantarkan aku buang air kecil terlebih dahulu, Nyatanya Elfa sama sama ingin buang air kecil terlebih dahulu. Tau kan betapa ribetnya? Harus pergi ke belakang semak semak, Kemudian sembari membawa botol aqua. Ah... Tidak, aku tidak perlu kesal. Memang begini. Aku harus terbiasa, Suatu saat ini akan menjadi hobi baruku. Hem...
Dilanjutkan kembali perjalanan kami menyusuri jalanan licin dan beberapa kali aku terpeleset jatuh. Tangan sosok itu tentu saja menawarkan untuk menjagaku agar tidak terpeleset yang kesekian kalinya. Aku meraih tangannya. Hangat. Sehangat rinduku yang tak pernah habis.
Aku ini benar benar wanita paling payah. Terbukti setelah beberapa waktu lalu aku tertidur, mengistirahatkan kakiku yang lemah ini, sama sekali tidak membuatku semakin kuat. Semakin lemah rasanya, dibalut dengan dingin yang sama sekali tak bersahabat. Lama semakin lama, menyusuri jalan setapak kemudian tangga cinta dilanjut lagi jalan setapak, Yang baru aku tau siang itu ternyata aku berjalan bersisian dengan jurang yang menganga disamping kananku. Tapi sungguh, Pagi yang buta itu, aku bisa melihat pemandangan dibawah sana tak ada bandingannya dengan pemandangan mana pun. Suer, Indahnya... Benar benar 'Nikmat Tuhan mana lagi yang patut aku dustakan'
"Wah... Itu bagus banget.. Bener bagus.." Kataku sambil melihat ke bawah. Lampu lampu kota dibawah itu. Berkedip kedip, serta kulihat gunung gunung yang berjajar diatasnya. Meskipun masih aku lihat dengan gelap,bentuk segitiga tak rata itu pasti gunung.
"Nanti diatas lebih bagus lagi." Ujarnya tersenyum. Mengagetkan lamunanku.
"Yok, biar bisa liat sun rise" lanjutnya. Berkata seperti itu seakan akan aku terlarut untuk terus berjalan meskipun kaki ini minta berhenti.
Dia sama sekali tak lepas dari tatapan memandangiku. Barangkali aku tertinggal atau terjatuh, karena memang aku dan dia selalu ada dibarisan paling belakang sendiri. Kamu, Ah iya... Tak pernah sekalipun kamu berhenti khawatir kepadaku. Aku iri, dengan kamu yang selalu mengkhawatirkan aku. Sementara aku disibukkan dengan pikiran, Bagaimana jika nanti aku pulang mati di jalan. Heleh.... Yang penting ada kamu, Aku cukup bahagia kok.
Lagi lagi dia memegangi jilbabku bagian atas, Mengelus kepalaku yang basah oleh keringat itu. Basah lagi.
"Nggak papa... Aku emang gini, Dikit dikit berkeringat. " ujarku santai.
"Pakai skeboku, Yang anget. skebomu udah basah." katanya sambil melepas skebo rajutku. Kemudian dia memasangkan skebo penutup kepala agar dipakai olehku. Aku tersenyum.
Kami kemudian berjalan bersisian. Melewati setapak demi setapak. Selangkah demi selangkah. Kugandeng lengannya. Jangan tinggalkan aku ya. Aku takut. Begitu kata hatiku.
Setelah sampai puncak,aku tetap tidak melepaskan tanganku dari genggamannya. Sebenarnya belum sampai ujung puncak, mungkin baru setengahnya. Tapi kami tidak ambil pusing agar sampai puncak dengan sempurna. Yang penting sudah bisa lihat sunrise. Oh ya, mungkin kami agak telat, sehingga melihat sun rise saja aku dan rombongan masih sambil jalan menuju ke atas.
Sungguh, Pagi setengah buta itu aku sama sekali tidak mengabadikan dengan kamera mana pun, Momen matahari terbit dengan siluet jingga yang sangat indah dipadu awan yang masih ada dipucuk sumbing dan sindoro. Biar memori otakku saja yang mengabadikan, dengan begitu, sosok apa pun tidak akan ada yang bisa mencuri momen itu dimemori otakku.
Fajar itu, Mentari benar benar satu hati denganku. Seakan akan menyambutku dengan tersenyum melihat sepasang anak manusia berjalan bersisian melewati semak semak gunung. Burung burung bercicit riang bak mendukung agar aku terus menyorotkan mata sinarku.Gunung Prau menjadi saksi bagaimana mataku memancarkan cahaya sucinya dengan lantunan kalam 'Alhamdulillah' Aku sampai. Genggaman tangan hangat itu menemaniku untuk sampai dipuncak ini. Aku tersenyum. Senang. Aku ingin tetap kamu yang selalu menggandengku seperti ini. Aku dalam hati.
Setelah menunaikan solat subuh, Kami menikmati hangatnya susu jahe buatan salah satu teman kami serta pop mie. Memang tidak membuat kenyang, Setidaknya perut telah terisi sedikit. Pagi itu aku tidak makan sama sekali. Memandangi pemandangan yang indahnya tak ada bandingannya saja aku sudah kenyang. Ditambah ku nikmati masa masa limited edition itu bersama dengannya.
Aku masih ingat fajar itu. Sama sekali tidak ada yang kulupa barang sedetik pun. Tak ada yang aku lewatkan sama sekali. Senyuman manis itu. Kata kata yang selalu menenangkan itu. Ah... Saat itu, Aku pikir semesta tau, akulah satu satunya wanita yang sangat bahagia. Sehingga seluruh alam berbaik hati memberikan suasana yang sangat indah. Memberikan hasil dari usahaku. Membayar seluruh lelahku. Aku juga masih ingat, bagaimana aku mengabadikan sosok aku dan dia dalam sebuah kamera hp yang diambil oleh satu temanku. Kepalaku kusandarkan pada pundaknya. Kugandeng lengannya. Aku nyaman. Aku ingin ini selamanya. Aku ingin, hanya aku yang menggenggamu. Tepat foto itu diambil dengan posisi aku dan dia membelakangi gunung. Sempurna. Kelak, ketika aku pulang, akan aku pajang foto ini pada dinding kamarku. Atau barangkali beberapa tahun kemudian aku lupa bahwa aku pernah merasakan momen nyaman itu bersama dengannya.
Terimakasih telah menguatkan aku. Terimakasih telah membawaku sampai sini. Terimakasih atas khawatirmu. Terimakasih telah melindungiku. Terimakasih untuk hari kemarin dan hari ini. Terimakasih atas kado terindah. Terimakasih atas genggaman tanganmu. Suara angin berhembus pelan. Mataku tak lepas dari posisi dia berdiri. Sosok yang kurindu itu, Saat ini tepat berdiri disana. Di depan mataku. Rindu ini sudah cukup terbayar, Meskipun nantinya aku akan tetap kembali merindu.
Di kediaman fajar,
Mt. Prau 2565 mdpl. 5 Mei 2019
Komentar
Posting Komentar